Lim bilang aku cantik. Walaupun aku tahu sekali dia
berbohong, kupaksa hatiku tersenyum. Lim satu-satunya orang yang selalu
bersamaku selama ini. Setiap sore dia menghampirku seperti matahari yang
menghampiri malam dan membuatnya pagi, begitu pula Lim. Kedatangannya selalu
membuatku merasa kesepianku bukanlah hal besar lagi.
“Untukmu, Ken.” Sambil mengulurkan pita hijau kepadaku.
“Buat apa, Lim? Rambutku pendek tidak bisa ditali,” heran
aku memandangnya.
“Sudah taruh di kepalamu saja untuk bandana, pasti cocok
dengan rok terusanmu itu.” Katanya.
“Pastinya.” Batinku.
Rok terusan oranye ini adalah kesukaanku. Masih banyak kesukaanku yang lainnya,
seperti kaos oranye dan celana oranye yang kupakai bergantian dengan baju yang
sekarang aku pakai. Aku suka memakai warna oranye di badanku sejak Lim selalu
mengunjungiku. Jangan bilang siapapun, aku ingin menjadi matahari seperti di
gambarku sewaktu sekolah dulu. Selalu kuwarnai oranye, sebuah gambar
pemandangan tak akan lengkap tanpa matahari oranye. Hehe. Sebenarnya waktu itu,
Lim bilang dia suka sekali pagi hari dan berjemur matahari pagi. Hangat katanya.
Seperti dipeluk selimut malam-malam. Ya, sejak itu aku ingin jadi matahari dan
oranye.
Beberapa hari yang lalu, “Ken, kenapa
bajumu warna itu terus? Nggak bosen?” Tanya Lim sungguh-sungguh karena dia
mengerutkan dahinya, aku hafal benar begitu cirinya kalau dia benar penasaran.
“Aku pengen jadi matahari oranye di
gambar yang kemaren kita gambar dan warnai bersama.” Jawabku sambil meliriknya
dan masih saja dahinya berkerut. Kepalanya melencong ke kanan seakan
menggantungkan jawabanku di ranting kepalanya.
“Wah bagus!” Serunya. “Mirip wortel,
aku suka makan wortel.” Lalu dia pergi meninggalkanku, kukemas boneka monyetku
dan kumasukkan dalam tas jinjing. Aku mau pulang.
Hari ini Lim belum mendatangiku, padahal aku mau menunjukkan
film lucu. Lucu sekali karena ada matahari yang punya muka mirip bayi yang
selalu tertawa melihat tingkah empat makhluk kuning, merah, hijau dan ungu yang
hobi berpelukan. Dari tadi aku bengong, memandangi jalan mengharapkannya lekas
datang sambil kupegang erat smartphone yang berisi 2 film yang akan kutunjukkan
padanya hari ini.
“Mana sih? Huh.” Mulai kesal rasanya. Telingaku menangkap
suara-suara dari arah semak di samping sana. Kupicingkan mata, daun-daunnya
bergerak-gerak lalu muncul awan putih, oh bukan, bola berbulu putih. Bola putih
itu semakin mendekat dan semakin kelihatan jelas bahwa ternyata seekor kelinci
mendekatiku. Meloncat mendekat dan semakin dekat, mengendus kakiku.
“Hush!” Sambil berpindah tempat dan sedikit menendangnya
supaya menjauh. Malah dia semakin mendekat, terus mengendus. Angin endusannya sampai
terasa di kakiku.
“Apa sih sana jauh-jauh!” kali ini aku menendangnya dengan
kuat sampai dia terpental agak jauh. Tapi malah semakin lincah dia melompat
mengitariku, mengendus kakiku lagi. Semakin aku berpindah dan bergerak, semakin
lincah pula lompatannya dan selalu dia mengendus kuat-kuat seperti ingin
menarikku ke dalam hidungnya. Seketika dia diam, tidak melompat tapi hidungnya
membesar aneh. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat, kupicingkan lagi mataku
meski jaraknya sangat dekat.
“Ha? Kok....” belum rampung mulutku berkomentar, kelinci itu
menempelkan hidung raksasanya ke kakiku. Aku merasa terserap ke sebuah pusaran
angin yang kuat menghisap dan sempat kudengar agak sayup, “Aku suka wortel. Aku
suka wortel!” (PaidiO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar