Jumat, 01 Mei 2015

O R A N Y E

Lim bilang aku cantik. Walaupun aku tahu sekali dia berbohong, kupaksa hatiku tersenyum. Lim satu-satunya orang yang selalu bersamaku selama ini. Setiap sore dia menghampirku seperti matahari yang menghampiri malam dan membuatnya pagi, begitu pula Lim. Kedatangannya selalu membuatku merasa kesepianku bukanlah hal besar lagi.
“Untukmu, Ken.” Sambil mengulurkan pita hijau kepadaku.
“Buat apa, Lim? Rambutku pendek tidak bisa ditali,” heran aku memandangnya.
“Sudah taruh di kepalamu saja untuk bandana, pasti cocok dengan rok terusanmu itu.” Katanya.
 “Pastinya.” Batinku. Rok terusan oranye ini adalah kesukaanku. Masih banyak kesukaanku yang lainnya, seperti kaos oranye dan celana oranye yang kupakai bergantian dengan baju yang sekarang aku pakai. Aku suka memakai warna oranye di badanku sejak Lim selalu mengunjungiku. Jangan bilang siapapun, aku ingin menjadi matahari seperti di gambarku sewaktu sekolah dulu. Selalu kuwarnai oranye, sebuah gambar pemandangan tak akan lengkap tanpa matahari oranye. Hehe. Sebenarnya waktu itu, Lim bilang dia suka sekali pagi hari dan berjemur matahari pagi. Hangat katanya. Seperti dipeluk selimut malam-malam. Ya, sejak itu aku ingin jadi matahari dan oranye.
Beberapa hari yang lalu, “Ken, kenapa bajumu warna itu terus? Nggak bosen?” Tanya Lim sungguh-sungguh karena dia mengerutkan dahinya, aku hafal benar begitu cirinya kalau dia benar penasaran.
“Aku pengen jadi matahari oranye di gambar yang kemaren kita gambar dan warnai bersama.” Jawabku sambil meliriknya dan masih saja dahinya berkerut. Kepalanya melencong ke kanan seakan menggantungkan jawabanku di ranting kepalanya.
“Wah bagus!” Serunya. “Mirip wortel, aku suka makan wortel.” Lalu dia pergi meninggalkanku, kukemas boneka monyetku dan kumasukkan dalam tas jinjing. Aku mau pulang.
Hari ini Lim belum mendatangiku, padahal aku mau menunjukkan film lucu. Lucu sekali karena ada matahari yang punya muka mirip bayi yang selalu tertawa melihat tingkah empat makhluk kuning, merah, hijau dan ungu yang hobi berpelukan. Dari tadi aku bengong, memandangi jalan mengharapkannya lekas datang sambil kupegang erat smartphone yang berisi 2 film yang akan kutunjukkan padanya hari ini.
“Mana sih? Huh.” Mulai kesal rasanya. Telingaku menangkap suara-suara dari arah semak di samping sana. Kupicingkan mata, daun-daunnya bergerak-gerak lalu muncul awan putih, oh bukan, bola berbulu putih. Bola putih itu semakin mendekat dan semakin kelihatan jelas bahwa ternyata seekor kelinci mendekatiku. Meloncat mendekat dan semakin dekat, mengendus kakiku.
“Hush!” Sambil berpindah tempat dan sedikit menendangnya supaya menjauh. Malah dia semakin mendekat, terus mengendus. Angin endusannya sampai terasa di kakiku.
“Apa sih sana jauh-jauh!” kali ini aku menendangnya dengan kuat sampai dia terpental agak jauh. Tapi malah semakin lincah dia melompat mengitariku, mengendus kakiku lagi. Semakin aku berpindah dan bergerak, semakin lincah pula lompatannya dan selalu dia mengendus kuat-kuat seperti ingin menarikku ke dalam hidungnya. Seketika dia diam, tidak melompat tapi hidungnya membesar aneh. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat, kupicingkan lagi mataku meski jaraknya sangat dekat.
“Ha? Kok....” belum rampung mulutku berkomentar, kelinci itu menempelkan hidung raksasanya ke kakiku. Aku merasa terserap ke sebuah pusaran angin yang kuat menghisap dan sempat kudengar agak sayup, “Aku suka wortel. Aku suka wortel!” (PaidiO)